Radikalisme dan Kazakhstan sebagai Anggota Commonwealth of indenpendent States

Ada pepatah Seneca yang sangat terkenal dan heroik yang sudah penulis pahami dan hafal sejak masa sekolah dulu,  yaitu “Men love their country, not because it is great, but because it is their own“. Pepatah ini menegaskan bahwa kita mencintai bangsa bukan karena bangsa itu hebat, tetapi lebih karena perasaan memiliki bangsa itu. Barangkali fenomena kesadaran itulah yang penulis lihat dari apa yang terjadi dan berkembang di negara-negara Eropa bagian timur atau lebih tepatnya pada negara-negara bekas pecahan Uni Republik Sosialis Soviet (URSS).  Tidak bisa dipungkiri bahwa negara dengan sistem politik sosialis tunggal dan sentralisasi pemerintahan dengan ekonomi yang sangat terencana dan terfokus itu harus runtuh tahun 1990 hanya dengan program Glasnost dan Perestroika.

Sejarah jualah yang mencatat bahwa setelah revolusi Februari tahun 1917 kekaisaran Rusia runtuh dilanjutkan oleh pemerintah selanjutnya yang juga hanya bertahan delapan bulan. Selanjutnya terjadi perang sipil yang dimenangkan kaum Bolshevik. Sejak 30 Desember 1922 anggota RFSF menjadi Rusia, Trankaukasia, Ukraina dan Byelorusia. Pemimpin Soviet pertama adalan Vladimir Stalin. Itupun sama mengalami pergolakan luar biasa dengan pengambilalihan kekuasaan oleh Josef Stalin yang memulai dengan program industrialisasi dan sistem ekonomi terencana.  Mulailah penindasan politik terhadap bangsanya sendiri. Kemudian bangsa itu menjadi bangsa adidaya sampai akhir tahun 80an. Glanost dan Perestroika Mikhail Gorbachev mencoba merestrukturisasi yang akhirnya gagal dan pada 26 desember 1991 Soviet bubar. Bisa dibayangkan  betapa negara yang begitu besar harus terpecah menjadi negara-negara otonom bebas yang memiliki kewenangan independen dengan sumber daya alam yang kaya varian itu.

Kebutuhan Kolaborasi dalam Kontestasi Global

Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini dua ideologi besar kapitalis dan komunis ternyata sampai detik ini belum mampu menjawab tantangan global. Penjajahan dan kolonialisasi karena ingin mengimlementasikan sistem kapitalisme global serta komunisme yang ingin mensetarakan setiap individu secara sosial ekonomi  dengan eliminasi nilai-nilai agama ternyata telah gagal. Betapa negara adi daya sekelas Soviet harus tumbang dan tunduk pada tata aturan permainan sistem pemerintahan yang universal regional dan global. Mau tidak mau dan suka tidak suka, negara besar itupun ikut  dalam tata pergaulan universal itu.Termasuk kebutuhan kerjasama terhadap negara eks pecahan negaranya.

Dengan tetap menghargai independensi negara masing-masing dikaitkan dengan perkembangan ekonomi, sosial, politik dan keamanan global, di kota Minsk ibu kota Amerika Baltik, kepala negara Belarus pada tanggal 9 Desember 1991 menginisiasi pertemuan yang dihadiri oleh kepala negara Belarusia, Rusia dan Ukraini untuk mendirikan komunitas independent Serikat atau Commonwealth of Independent States yang disingkat CIS.

Kemudian dengan  melihat konsep dan signifikansi kebutuhan kawasan pada masa yang akan datang, tanggal 21 desember 1991 ; Armenia dan Arzerbaijanpun ikut bergabung. Namun, sebuah  persoalan besar timbul karena sampai tahun 1993, parlemen masih menolak keanggotaan Kazakhstan, Kirgistan, Muldova, Tajikistan, Turkeministan dan Uuzbekistan. Dengan berbagai pendekatan yang diinisiasi dan dilakukan oleh Rusia dan negara-negara yang sudah bergabung lebih dahulu, akhirnya pasca Georgia bergabung tahun 1994, semua negara bekas pecahan Soviet telah bersatu dan bergabung dalam sebuah serikat menjadi CIS.

Kazakhstan dalam Lingkaran Isu Terorisme

Sebagai bagian dari CIS, Kazahkstan sangat mengikuti dan memahami perkembangan global ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Terkait dengan isu terorisme, banyaknya kelompok radikal yang menggunakan panji dan simbol Islam hampir di seluruh belahan dunia, maka Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, pada tanggal 12 April 2017 mengumumkan, mengultimatum dan bahkan mengancam bahwa siapapun Warga negara Kazakhstan yang bergabung pada Daesh atau ISIS akan dicabut kewarganegaraannya.

Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi antar negara kawasan,  Presiden Rusia Vladimir Putin pada Mei 2017 juga mengumumkan hal yang sama seperti kebijakan Nazarbayev.  Apa yang dilakukan oleh Nazarbayev sebetulnya juga merupakan perluasan setelah melihat perkembangan Daesh global saat itu. Misalnya pada Desember 2015 (saat ISIS berada dalam posisi puncak kejayaan), PM Australia Tony Abbot mengeluarkan Undang-undang kesetiaan (Allegiance Act) yang berisi pencabutan status kewarganegarraan bagi warganya yang bergabung dengan ISIS. Hal itu juga sebenarnya telah didahului oleh Perancis setelah serangan 13 November 2015 di Saint Denis and State de France.

Sebagaimana penulis uraikan dalam berbagai tulisan terdahulu bahwa Daesh atau ISIS sangat berbeda dengan Al Qaedah ataupun kelompok teroris yang lain. Kelompok teroris selain isis melakukan serangan dengan  konsep jangka panjang dengan serangan asimetri dan kerusakan masif. Biasanya kelompok ini melakukan proses pelatihan kemampuan dan doktrin. Al Qaedah bahkan mewajibkan untuk setiap pejuangnya untuk mengikuti akademi militer Al Qaedah di Afganistan dan Filipina.

Lain halnya dengan ISIS. Kelompok ini lebih fokus pada mendirikan kekuasaan yang sesungguhnya instan. Langsung membuat struktur pemimpin, kekuatan pasukan dan memperbanyak populasi yaitu dengan melakukan pemaksaan menikah atau nikah jihad. Dan apabila dalam kelompok lain terdapat proses radikalisasi melalui tahapan identifikasi, indoktrinasi dan jihadisasi, ISIS lebih pada proses propaganda, agitasi melalui forum chating sosial media dengan strategi recieved, kick out, dan doctrinized. Aspek kemampuan tamzim siry, askary dan Sar’y terkadang dianggap bukan bagian penting dalam strategi ISIS, sehingga serangan sering serampangan, tidak terkoordinasi dan dengan menggunakan bahan apa adanya.

Walaupun demikian, keduanya mempunyai tingkat kadar bahaya yang sama. Bisa dibayangkan perkiran mujahidin asing yang membantu ISIS dari Perancis sekitar 500an orang, Belgia sekitar 300an orang, Mesir sekitar 1000an orang, Saudi sekitar 1500an orang, Jerman 930 orang, Indonesia 534 orang dan Rusia dan CIS ada 7000an orang. Dari sini bisa dilihat bahwa angka penyumbang kombatan ISIS terbesar berasal dari CIS.

Peran Kazakhstan dan Indonesia

Sebagai negara yang baru lepas dari sistem ekonomi sosial yang terkontrol ketat waktu masih bergabung dengan Soviet dengan penduduk kurang dari 3 juta jiwa, tentu tata kelola pemerintahan Kazakhstan tidak serumit negara besar seperti Indonesia. Apalagi dengan sumber daya alam batu bara, emas dan minyak bumi yang memiliki deposit yang tinggi membuat negara ini cukup makmur. Akibat kebijaksanaan anti agama yang telah dimulai sejak tahun 1920 hingga tahun 1991, setelah berpisah dengan Soviet wilayah seperti Kazahkstan, Uzbekistan, Uyghuristan, Tartar, Kyrgyzstan, Baskhir, Tajikistan, Azerbaijan, Dungan, Turks, Chechen, dan Ingushetia jumlah masjid yang semula 63 kini menjadi 2.500 mesjid.

Lalu, apa kesamaan dan rekomendasi untuk Indonesia dan Kazakhstan dalam upaya kolaborasi dan kerjasama?

Sebagai sesama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka basis agama, adat kebiasaan, tata cara adat perkawinan hampir relatif sama. Ulama-ulama besar Kazakhstan dan ulama Indonesia memiliki pemikiran keislaman yang hampir sama. Mungkin model pendidikan dan pengajaran dalam lembaga pendidikannya yang sedikit berbeda. Dengan melihat kesamaan karakteristik ini, hal yang perlu dilakukan Indoneaia bersama Kazakhstan adalah sebagai berikut:

Pertama; pererat kerjasama dalam bentuk sharing informasi tentang  perkembangan terorisme dan penyeberannya di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Kedua;  perlu pertukaran ulama yang bersumber dari ulama nasional (dari Indonesia seperti dari NU, Muhamadiyah dll ). Ketiga; pertukaran pengembangan capacity  building semisal dari Kazakhstan bisa diundang untuk ikut belajar di JCLEC. Keempat; bisa mengundang Kazakhstan untuk melihat proses kerja pendekatan lunak dalam program Deradikalisasi.

Tantangan terorisme tidak lagi menjadi persoalan satu negara ketika terorisme telah mewujud dalam jaringan trans-nasional. Dalam konteks itulah, kerjasama dan kolaborasi lintas negara sangat dibutuhkan. Kesamaan maupun perbedaan dalam menangani persoalan terorisme akan menjadi modal dalam program sharing informasi dan kapasitas dalam rangka menanggulangi terorisme.