Pusat Deradikalisasi BNPT (Bag.2)

Banyak lembaga swadaya masyarakat dari dalam dan luar negeri yang menyangka bahwa penggunaan pusat deradikalisasi yang telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada akhir tahun 2014 sudah beroperasi. Pada awalnya, memang secara institusional kelembagaan, BNPT memaksimalkan upaya agar pusat deradikalisasi dapat dipergunakan sesegera mungkin, namun demikian, setelah mencermati bangunan fisik yang dimiliki oleh pusat deradikalisasi tersebut, yang akan dijadikan sarana dalam melakukan dialog dan pembinaan kepada para WBP, diputuskan bahwa secara komprehensif bangunan tersebut belum memenuhi standar prosedur operasional, ada banyak problem yang harus dikongkritkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembinaan pada pusat deradikalisasi.

Terdapat setidaknya tiga permasalahan mendasar yang harus diselesaikan; pertama, problematika WBP teroris yang akan menempati pusat deradikalisasi; kedua, status pusat deradikalisasi; ketiga, optimalisasi bangunan fisik, sarana dan prasarana yang dimiliki.

Pertama, permasalahan yang dihadapi adalah problematikan penentuan WBP yang akan menempati pusat deradekalisasi. Sampai saat ini masih belum ada peta kongkrit untuk napi terorisme yang tersebar di 26 lapas, mana yang sudah kooperatif dan mana yang belum atau tidak kooperatif, baik kooperatif secara substantif (ideologi, pemikiran dan semangat yang dimiliki) dan kooperatif secara administratif (memiliki kelakuan baik dengan sesama napi lainnya dan berkelakuan baik kepada pegawai lapas).

Tahapan identifikasi yang baru dilaksanakan oleh sub direkturat resosialisasi dan rehabilitasi bersama tim ahli dari kalangan akdemisi serta pakar psikologi diharapkan dapat memberikan peta yang jelas dan komprehensif, serta gambaran yang kongkrit tentang WBP yang sudah siap kembali ke NKRI dengan WBP yang masih memiliki ilusi dan angan-angan hampa akan pembentukan negara Islam. Proses tahapan identifikasi juga harus dilakukan secara lebih holistik pada tiap komponen instrumennya, hal ini dikarenakan banyaknya waktu yang akan dibutuhkan dalam menggali identitas mereka, sebab bila tahapan identifikasi dilakukan secara serampangan dan tergesa-gesa, hasilnya tidak dapat dijadikan standar yang baku dalam memetakan pola sikap dan prilaku WBP, bahkan bias jadi, hal ini justru akan menjadi standar yang membeku.

Sangat mungkin bahwa akan ada WBP yang berpura-pura seolah mereka telah kooperatif, sebab mereka hanya ingin memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat umpamanya. Padahal secara prinsipil mereka masih sangat tidak kooperatif terhadap eksistensi ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI. Mereka juga tidak hormat kepada para pegawai lapas. Bila hal ini terjadi dan mereka telah memperoleh pembebasan bersyarat atau bebas secara murni, sangat mudah bagi mereka untuk kembali kepada jaringan lamanya dan kembali menebar bujukan di tengah masyarakat.

Kedua, permasalahan status pusat deradikalisasi, dalam banyak pertemuan dengan pejabat Direkturat Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah pusat deradikalisasi itu merupakan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan? penamaan sebuah tempat bagi para narapidana dipenjara a merupakan permasalahan tersendiri, karena akan terkait dengan pejabat dan staf yang ditugaskan pada pusat deradikalisasi tersebut.

Secara administratif, peraturan yang berlaku pada Direkturat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa penggunaan nama dan status berupa satuan kerja, rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, berpengaruh pula pada petugas yang akan melaksanakan tugas dan mengoperasikannya. Karenanya secara prosedural harus dikoordinasikan dengan kementerian pemberdayaan aparatur negara. Hal tersebut pernah mengemuka dalam banyak berita pada awal tahun 2014 dimana dikabarkan bahwa BNPT membuat penjara bagi napi terorisme, akhirnya banyak masyarakat membayangkan model tahanan tersebut laiknya yang ada di Guangtanamo, tempat yang dipergunakan Amerika Serikat untuk menahan para kelompok ekstremisme.

Ketiga, permasalahan yang tidak kalah urgennya, adalah optimalisasi bangunan fisik, sarana dan prasarana. Saat ini secara umum pembangunan fisik dan bilik pusat deradikalisasi sudah selesai, namun bagian lain yang tidak kalah pentingnya adalah fasilitas ruangan pembesuk atau pengunjung napi, bagian tersebut merupakan fasilitas yang penting, karena tiap warga napi terorisme mempunyai hak sebagai warga binaan untuk menerima kunjungan dari sanak famili, anak, isteri, suami dan keluarga terdekat lainnya.