Pusat Deradikalisasi BNPT (Bag.1)

Seperti halnya dengan negara Arab Saudi yang memiliki pusat deradikalisasi yang telah berhasil melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia juga merencanakan pusat deradikalisasi yang akan dipergunakan untuk melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan pelatihan keterampilan bagi warga binaan di lembaga pemasyarakatan (WBP) terorisme. Pemberdayaan akan dilakukan oleh banyak pakar melalui dialog, sementara pembinaan dan pelatihan para warga binaan akan dilakukan oleh banyak ahli dari berbagai latar belakang keilmuan, seperti pakar psikologi, pakar wawasan kebangsaan, pakar agama, pakar kewirausahaan, dll.

Saat ini, pusat deradikalisasi yang berlokasi di Sentul, Bogor, Jawa Barat, secara fisik telah memiliki 48 bilik ruangan yang akan dipergunakan untuk menampung narapidana terorisme. Namun, meski secara umum pembangunan fisik telah tersedia, tetapi masih banyak fasilitas fisik yang belum memenuhi standar aturan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan sebagaimana diatur oleh kementerian hukum dan hak asasi manusia.

Dalam upaya memanfaatkan pusat deradikalisasi BNPT, dan memaksimalkan penggunaan bangunan tersebut sesuai peruntukannya, maka meski saat ini gedung tersebut masih dimanfaatkan sebagai kantor, namun koordinasi dan kerja sama aktif antara stakeholder terkait terus diaktifkan, manajemen perencanaan juga terus dioptimalkan dalam mencapai kata sepakat antara para pihak yang berkompeten dalam menangani warga binaan di lembaga pemasyarakatan terorisme.

Pada tahun 2014 BNPT telah melaksanakan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kemenkumham, selanjutnya dibutuhkan peraturan kerjasama (PKS) yang merinci tugas, kewenangan, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam nota kesepahaman tersebut.

Tiga kementerian dan lembaga yang akan terlibat secara langsung dalam mengoperasikan pusat tersebut adalah BNPT, Polri, dan Kemenkumham. Dimana masing-masing tugasnya adalah; BNPT dalam hal ini Direkturat Deradikalisasi, menyiapkan manajemen substantif, pemberdayaan, dialog, pembinaan dan pelatihan. Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal ini Detasemen Khusus 88 Anti Teror, menyiapkan manajemen perlindungan dan keamanan WBP dan petugas lapas yang bertugas, dan Kemenkumham dalam hal ini Direkturat Jenderal Pemasyarakatan yang menyiapkan manajemen administrasi pengawasan dan pelayanan bagi narapidana terorisme, juga memantau jika seorang WBP mengajukan permohonan remisi yang berdasar pada peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2012 tentang tata cara dan syarat, mengajukan dan memperoleh remisi atau pengurangan masa tahanan.

Selama tim deradikalisasi dalam lapas melaksanakan program pembinaan terhadap narapidana terorisme sejak tahun 2011 hingga tahun 2014 (berupa program rehabilitasi, re-edukasi dan resosialisasi yang dikenal di luar negeri dengan istilah reintegrasi), napi terorisme terbagi ke dalam dua kategori, yaitu; mereka yang sudah kooperatif dan mereka yang tidak atau belum kooperatif. Pemetaan tersebut, akan semakin disempurnakan dengan tahapan identifikasi WBP, sebelum program lainnya dilaksanakan. Tahapan identifikasi ini baru dimulai tahun 2015, tahapan ini sangat menentukan program selanjutnya, sebab diharapkan hasil identifikasi WBP dapat mendiskripsikan jaringan, organisasi, pola pikir, sikap dan prilaku seorang WBP.