Mewaspadai Propaganda, Isu Nasional dan Arab Spring Untuk Keutuhan NKRI

Krisis Suriah atau Syria terjadi sejak Maret 2011. Masalah mulai timbul di kota Deraa, Syria saat penduduk setempat turun ke jalan memprotes setelah 15 pemuda ditahan karena mencorat-coret tembok sebagai ekspresi protes kepada pemerintah yang dianggap diam terhadap krisis pangan dan lahan pekerjaan. Mereka menulis slogan-slogan revolusi. Februari 2011 di Kota Deraa, sebelah barat daya Suriah, serangkaian poster bertuliskan ‘Giliranmu, Doktor’ di dinding sekolah di kota itu menjadi pemantik konflik Suriah. Yang dimaksud ‘doktor’ dalam kata-kata itu adalah Presiden Basyar al-Assad.

Dari aksi tersebut terhembus informasi menyebar di kalangan masyarakat bahwa 15 pemuda tersebut disiksa. Mendengar informasi inilah kemudian penduduk suriah menyuarakan penentangan dengan cara melakukan aksi anti pemerintah dengan membuat graffiti di dinding. Pada awalnya aksi demonstrasi dimulai dengan damai menyuarakan pembebasan anak-anak sekolah, domokrasi, dan memberikan kebebasan yang lebih luas pada rakyat. Namun, tanpa diketahui sebabnya hingga saat ini kekerasan dan peperangan saudara terjadi bahkan makin meluas di Suriah.

Kondisi di Suriah ini sebelumnya juga terjadi di beberapa negara semenanjung Arab melalui gelombang unjuk rasa dan protes. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir, perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman, protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko,dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini.

Berbagai gejolak di Timur Tengah tersebut menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. Inilah kemudian yang dikenal sebagai Arab Spring (wikipedia).

Konflik Suriah terus berkepanjangan tak kunjung selesai, korban terus berjatuhan dari militer sampai masyarakat Sipil. Menurut informasi Pusat Penelitian Suriah jumlah korban sudah mencapai 400.000 dari warga Suriah telah tewas sejak pecahnya krisis. Laporan itu menambahkan bahwa 70.000 orang telah tewas karena kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai, makanan, air bersih, sanitasi dan perumahan yang layak, terutama bagi mereka yang mengungsi dalam zona konflik.

Lebih lanjut laporan tersebut juga menjelaskan bahwa angka kematian di Suriah melonjak dari 4,4 per seribu di tahun 2010, menjadi 10,9 per seribu pada tahun 2015, dan harapan hidup turun dari 70 pada 2010, menjadi 55,4 pada tahun 2015. Selain itu, 6.360.000 orang telah terlantar dan lebih dari empat juta orang telah melarikan diri dari negara itu sejak awal konflik. Selain itu 13,8 juta warga Suriah juga telah kehilangan sumber pendapatan mereka. Kemiskinan meningkat 85 persen pada tahun 2015, dan harga konsumen naik 53 persen tahun lalu.

Laporan ini juga menyebutkan jumlah mereka yang terluka sekitar 1,9 juta orang dan 11,5 persen penduduk Suriah telah tewas atau terluka sejak krisis meletus pada Maret 2011. Di suasana konflik itulah kemudian lahir organisasi-organisasi radikal, terorisme dan pemberontak, bahkan tumbuh subur sebut saja seperti Free Syrian Army (FSA), Aliansi Muhajirin wal Anshar, Mujahideen Shura Council hingga Jaisyul Fath dan yang tak kalah pentingnya ISIS atau IS yang mengklaim dan jargon Daulah Islamiyah. Untuk organisasi terakhir ini diketahui memiliki keahlian khusus dari pada organisasi-organisasi lainya dalam hal propaganda media. Bahkan kelompok ini memiliki divisi media tersendiri meliputi kepala propaganda, perekrut, dan pemimpin operasi teroris eksternal yaitu Al Adnani yang dilaporkan tewas sekitar dua bulan yang lalu di Aleppo.

Radikal Terorisme dan Isu Nasional

Satu bulan terakhir suhu politik nasional makin memanas. Permasalahan dipicu oleh isu SARA dan kemudian berkembang kepada isu Makar, Rush Money bahkan PKI, Permasalahan ini membuat seluruh komponen bangsa terlibat dari organisasi Partai, organisasi keagamaan, mahasiswa, elit politik, tokoh agama dan TNI/Polri serta masyarakat itu sendiri. Layar kaca dihiasi dengan isu yang sama. Komentar bertebaran di ruang-ruang publik, lebih-lebih di Cyber Space atau dunia maya. Pro dan kontra saling beradu argumen di dunia maya dan televisi nasional, informasi di dunia maya membuat suhu semakin memanas mempengaruhi psikologi para pengambil keputusan.

Meminjam konsep propaganda yang dikenal dengan metode Pervasif dan Metode Kohersif  sebagai strategi dalam melakukan propaganda, isu-isu yang bertebaran di dunia maya jika menggunakan metode pervasif yaitu menyebarkan dan memekarkan isu dan informasi agar pembaca mengikuti apa kepentingan dari penyebar isu itu sendiri (secara sukarela). Sementara metode kohersif disini propagandis menyebarkan isu secara berulang-ulang dan terus menerus (pencucian otak) agar masyarakat mengamini dan mengikuti kepentingan dari propagandis.

Kedua metode propaganda ini menjadi sangat efektif ketika menyasar kelompok kurang cerdas, sedikit cerdas dan tidak terdidik. Di tengah suasana “chaotik” inilah kelompok radikalisme dan terorisme dapat memanfaatkan isu melalui hasutan, fitnah dan adu kambing (devide et impera). Beberapa isu bersliweran di dunia maya melalui meme, video, artkel narasi, munculnya website-website baru, testimoni tokoh bahkan pemikiran-pemikiran radikalisme ini disebarkan secara massif dan sistematis.

Beberapa narasi yang bertebaran misalnya artikel aksi damai agama siapa? kemudian artikel di website yang mencoba mengungkap kondisi perang lebih baik daripada berdamai dengan pemimpin kafir dan Thogut. Bahkan isu Rush Money dihubungkan dengan Dinar dan Dirham yang digunakan di negeri Daulah, (ISIS). Akun–akun anonymous bermunculan di media sosial memainkan dan menggoreng isu ini melalui propaganda. Bahkan diketahui pada aksi 4 November bendera kelompok ini (baca:ISIS) berkibar di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan (sumber viva.co.id 4 november), dan baru saja Kepolisian RI menangkap 9 orang kelompok ISIS yang berencana menyusup dan memanfaatkan isu nasional ini untuk melakukan aksi terorisme.  Kesembilan orang tersebut yakni Saulihun alias Abu Musaibah, Alwandi alias Aseng, Reno Suharsono, Dimas Adi Syahputra, Wahyu Widada, Ibnu Aji Maulana, Fuad alias Abu Ibrohim, Zubair, dan Agus Setiawan.

Mencermati kedua peristiwa ini dan informasi data yang disebarkan di media sosial dan website dapat dipastikan kelompok radikal terorisme akan menggunakan dan memanfaatkan isu nasional yang sedang terjadi untuk kepentingan kekerasan dan terorisme. Ketidaksatbilan keamanan dan renggangnya kohesifitas sosial di tengah masyarakat terkait isu nasional menjadi pintu masuk paling mudah bagi kelompok radikal terorisme.

Belajar Dari Arab Spring Demi NKRI

Konflik  berkepanjangan di semenanjung Arab memakan korban cukup besar, bahkan konflik ini memporakporandakan seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tatanan sosial, hukum, budaya, ekonomi dan Hankam. Diketahui salah satu kelompok radikalisme ISIS banyak sekali menghancurkankan situs-situs peradaban dan kebudayaan Islam seperti di Palmyra Suriah. Ribuan korban berjatuhan, dan perang saudara terus terjadi, dalam hitungan detik. Menurut Utusan Khusus PBB untuk Perdamaian Suriah, Staffan de Mistura bahwa dalam 48 jam terakhir satu nyawa melayang setiap 25 menit dan satu orang luka-luka setiap 13 menit. Belum lagi krisis pengungsi warga suriah ke negara-negara Eropa dan Amerika menambah kepedihan nasib bangsa Suriah.

Apabila belajar dari prahara Arab Spring kita dapat mengambil pelajaran penting tentang kekuatan maha dahsyat media sosial. Informasi di media sosial menjadi salah satu penyebab terjadinya Arab Spring. informasi yang bertebaran tanpa batas (deteritorialisasi)  dikonsumsi oleh pembaca dan masyarakat yang telah mempengaruhi kognisi, afeksi dan behavior seseorang dalam mengambil sikap dan keputusan.

Dalam kondisi dan situasional seperti ini dibutuhkan sikap arif dan tenang seluruh stakeholder komponen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk memilah fakta dan Isu dalam pengambilan keputusan. Bagaimana pun dengan organisasi radikal terorisme yang semakin kuat dengan agenda Cyber Jihad Media (baca: klaim jihad) kelompok radikal akan memainkan propaganda dalam kepentingan meradikalisasi masyarakat dengan cara menyebarkan konten radikalisme, menyalahgunakan Kitab dan ayat Agama untuk kepentingan terorisme. Penghasutan, fitnah dan strategi adu domba antar kelompok organisasi agama, antar tokoh agama, antar elit politik, antar organisasi masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal.

Narasi Thogut, Islam adalah agama perang dan pengkafiran pemimpin negara menjadi konten-konten kelompok radikal terorisme dalam melancarkan aksinya di dunia maya. Belum lagi yang diwaspadai adalah proxy isu dari negara lain untuk kepentingan radikal terorisme. Dengan demikian belajar dari Arab Spring demi menjaga Keutuhan NKRI dan tujuan founding father mendirikan Indonesia merdeka dengan segala perjuangan jihadnya.

Mari seluruh komponen bangsa bersatu dan mewaspadai radikal terorisme untuk Negeri tercinta ini. Seperti dikatakan Bung Karno ‘holopis kuntul baris’, Bekerjasama bergotong royong untuk menangani hal besar bangsa Indonesia.

“Bersama Cegah Terorisme’ Damai Itu Indonesia..!!