Mencoba Memahami Abdullah Sonata dalam Gerakan Terorisme di Indonesia

Mengenal Sosok Abdulah Sonata

Dari berbagai sudut pandang tentang pergerakan terorisme di Indonesia sebetulnya banyak orang  termasuk pengamat “dadakan” yang tidak memahami mengapa terorisme itu seperti hantu. Ia datang dan hilang secara senyap kemudian tampil lagi.  Siapa dalang dan siapa pendukung semuanya selalu serba misteri.  Siapa Arjuna dan siapa Kurawanya pun tidak pernah jelas kelihatan. Secara umum di Indonesia juga jarang atau bahkan tidak pernah ada klaim pertanggungjawaban sebagaimana sering dilakukan oleh kelompok radikalis di Timur Tengah seperti Iraq dan Afganistan.

Sejak era kerusuhan Ambon dan Poso yang nyata-nyata telah tersusupi sel radikal tanzim ziry Al Jamaah Al Islamiyah (JI), sampai serangkaian teror  dengan kehancuran maksimal seperti;  Bom Bali, bom kedubes Australia dan bom Marriot, masyarakat hanya mengenal sosok tokoh prominent seperti  Noordin M Top, Dr. Azhari, Umar Patek, Imam Samudera, Dulamatin dan figur lain yang sangat fenomenal saja.  Nama sekelas Abdullah Sonata alias Arman yang terkadang juga dipanggil Andri, lelaki kelahiran tanggal 4 oktober tahun 1978,  dengan pekerjaan wiraswasta ini, sepertinya tidak banyak dipahami dan diketahui publik.

Pemberitaan media tentang bom besar buah hasil eksikusif JI hanya memunculkan tokoh-tokoh besar (Amir) JI saja. Sementara Abdulah Sonata yang terakhir beralamat di Jl. Masjid II RT 008/06 No. 22  Kelurahan Cipayung, Jaktim ini jarang disebut atau bahkan hampir nyaris tidak pernah diberitakan kecuali statemen pejabat atau humas Polri dalam rilis media saja. Padahal pria lulusan  SD Negeri no 2, Bambu Apus tahun 1991, SMP Negeri 180 Bambu Apus tahun 1994, dan STM Sudirman Cijantung tahun 1997 ini di samping pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang buku ia juga mempunyai peran yang amat sentral dalam memberikan ruang gerak yang bebas bagi tokoh  penting JI, Noordin M Top.

Sonata memiliki peran yang penting saat memanasnya konflik Ambon dan Poso. Dia juga memiliki peran sentral bagi proses masuknya persenjataan kelompok JI yang ingin menjadikan Ambon dan Poso sebagai pusaran konflik dan praktek  amaliyah. Di persidangan terungkap pula bahwa dia berperan dalam mensuply senjata Nurinco untuk Noordin M Top jauh sebelum ia tertangkap.

Sonata merupakan anak dari pasangan Ibu bernama Nani dan Bapak Ayat Kelana, seorang PNS pada Dinas Kebersihan Ciracas, Jakarta Timur. Sonata yang memiliki Saudara kandung Sutina dan Suaif  ini memiliki dua istri. Istri pertama Siti Rohma Ketua Penanggulangan Krisis Wilayah (Kompak) Ambon dan istri keduanya Fitri Luthfiana Janda Abdul Aziz. Walaupun ia tidak terlalu dikenal, tetapi Sonata telah menorehkan tinta darah bagi perkembangan radikalisme dan terorisme di Indonesia.  Ia bukan tokoh sekaliber Amir pada Markaziah, tapi perannya tidak kalah penting dari pada sekedar sel-sel inti level askary.

Persiapan Amaliyah

Dalam rangkaian persidangan yang terbuka untuk umum terungkap bahwa Sonata telah terlibat dalam beberapa kasus di antaranya kasus penyembunyian informasi terorisme dan kasus menggerakkan orang lain dalam kasus Peledakan Kedutaan Australia Kuningan Jakarta pada bulan September tahun 2004.  Dia pula yang  mengirim dua pucuk pistol otomatis dengan peluru 8 butir pada Nurdin M Top.

Pada tahun 1999 dia beserta istri dan Asep Jaja berangkat ke Ambon berangkat ke Ambon dengan maksud untuk membantu Jihad muslim yang tertindas bersama Aris Munandar Abu Miqdat. Di Ambon mereka  tinggal di Waheong kantor Kompak perwakilan Ambon. Tugas utama kelompok atau LSM Kompak ini adalah membantu pengungsian, membantu obat-obatan,  membantu medik, dan membuka Poliklinik. Di samping tugas pokoknya mereka  juga menjadi guru pada berbagai  pengajian.  Tahun 2000 Sonata kembali ke Jakarta dan Solo dan melaporkan rangkaian kegiatannya pada  Aris Munandar, Ketua Kompak Solo dan ustad Amlir Syaifa Yasin. Sebulan kemudian ia berangkat sendiri. Sejak itu ia bolak balik Jakarta Ambon dan Solo sampai tahun 2004.

Tahun 2003 sekembalinya dari Ambon dia mengajar pengajian remaja di Cipayung dan Bekasi.  Bersamaan dia yang mengikuti kursus Al Manar di Jl Hutan Kayu Jakarta Timur, ada beberapa teman yang juga aktif bergabung bersama Sonata  di antaranya   Aris munandar. Mereka berkenalan  saat mengisi Pengajian di Mesjid Nurul Hidayah Cipayung. Aris Munandar pula yang kemudian sering diajak Sonata untuk membantu muslim Ambon pada tahun 1998 dan tahun1999.

Pada Mei 2004 setelah kerusuhan Ambon selesai,  mereka datang lagi ke Ambon untuk memberikan bantuan obat untuk Kompak dan Mercy. Selain Aris Munandar, Sonata memiliki Sahabat lain Faiz Syaefudin yang dikenalnya pada tahun 2000 karena sama-sama anggota Kompak. Tahun 2004  saat membawa bantuan ke Ambon, Sonata bertemu dengan Mahfud alias Firdaus yang biasa dipanggil Tomy yang punya keinginan sangat kuat berangkat ke Filipina untuk berjihad.  Untuk itu Sonata meminta bantuan sahabatnya Arnold dan Sholeh untuk memfasilitasi keberangkatan mereka.

Masih di tahun yang sama dia berkenalan dengan Sidik yang pernah bertemu saat terjadi kerusuhan RMS . Dalam berbagai pertemuan  silahturahmi di kantor kompak Ambon, Sonata juga bertemu dengan Rofik alias Kemal dan Aleng.  Khusus dalam rangka bertemu dengan Noordin M top di Solo Sonata menggunakan perantara Faiz dan Usama. Teman tetangga lama  sepengajian di Capayung  Jakarta Timur  yang  juga bergabung  adalah Asep jaja. Bersama Asep jaja pula pada bulan Juni 2004 mereka berangkat ke Ambon untuk melakukan pelatihan  militer (I’DAD) di Seram Barat.   Dalam latihan itu Sonata ikut menjadi ketua  Penguji .  Dia pulalalah yang merekomemdasikan 5 orang lainnya untuk ikut latihan.

Perkenalan dengan Sang Galadiator Noordin M top dan Keberangkatan ke Philipina Selatan

Perkenalan Sonata dengan Noordin M top dengan difasilitasi oleh Usama alias Usman terjadi pada awal puasa bulan November 2004 di rumah ustad Fathurohman alias Faath di Pekalongan.  Topik yang dibahas saat itu adalah mempersamakan persepsi tentang Fikroh, Tekhnis dan Ibadah Jihad.  Yang ditekankan oleh Noordin adalah  Program pengeboman dan program bunuh diri.

Sonata kemudian mendiskusikannya dengan Faiz Syaifudin dan dengan ustad Muzain di Cipayung dalam waktu yang berbeda.  Pertemuan kedua  dengan Noordin M Top selanjutnya dilakukan di taman UNS solo.  Sonata di antar oleh Usama alias Usman,  Noordin M top diantar oleh Joko alias Harun.

Masih ditahun 2004 Sonata pernah berangkat ke Filipina bersama Faiz Syaefudin atas undangan  Umar Patek untuk melihat keindahan Pawas Filipina Selatan. Di situlah Sonata bertemu dengan Joko Pitono alias Dul Matin dan keluarganya. Sonata  sempat mempelajari konsep perjuangan MILF yang saat itu sedang melemah yang dijelaskan oleh mujahidin MILF, Abu Badrin. Abu Badrin begitu antusias menerima setiap tamu dari Indonesia. Dia pula yang  membantu membangunkan rumah untuk tempat tinggal Umar Patek dan kawan kawan.

Untuk mempermudah gerakan, Sonata menggunakan jalur Jakarta Tarakan – Nunukan Tawau – seterusnya ke Bonggau Filipina Selatan. Di Filipina, Sonata menggunakan nama Abdulrohman. Seluruh perjalanan dipandu oleh Arham dan Arnold. Sejak itulah sonata aktif mengirimkan orang Indonesia ke Flipina selatan. Pengiriman Pertama yang diberangkatkan adalah Maulana, Salman dan Musa.  Namun ketiganya ditangkap di Malaysia. Pengiriman kedua adalah Ahmad, Ramli dan  Abunida. Dan yang dikirim ketiga hanya 2 (dua) orang Sidik dan Mahfud alias Firdaus.

Pertemuan dengan Joko Pitono dan Abu Syeh di Jakarta

Setelah bom Bali 2002 Dulmatin yang bernama asli Joko Pitono dan Umar Patek yang bernama Asli Abu Syeh berangkat ke Jakarta dan mencari Sonata di Jakarta. Melalui Faisol di Cililitan arah Halim Jakarta Dulmatin dan Umar Patek mencari tempat perlindungan pada Sonata. Akhirnya, untuk alasan keamanan Sonata mendapatkan tempat kos untuk Umar Patek dan Dulmatin di dekat stasiun UI Margonda Raya Depok dengan harga Rp.300.000 (tiga ratus ribu) dengan kamar mandi di dalam.   Sayangnya tempat itu hanya ditempati  hanya 3 ( tiga ) bulan saja.  Akhirnya  Sonata sendiri yang menempati.

Selama Dulmatin dan Umar Patek di Jakarta, Sonata menyuruh Ramli alias Rambo (teman dekat Sonata saat kos di Kalimalang ) untuk menemani.  Untuk biaya kos dan kehidupan sehari-hari pembiayaan ditanggung dan dipenuhi sendiri oleh Dulmatin dari hasil penjualan mobil Feroza  seharga  Rp 40.000.000. ( empat puluh juta rupiah ) milik kakak ipar Dulmatin di Cilegon.           Sonata pernah  menerima 7 ( tujuh ) pucuk senjata Norinco 9mm yang dibawa oleh Yohanes (suruhan Ali Zein ) dari  Umar Patek yang dari  Filipina  saat terjadi  kerusuhan RMS saat membawa obat-obatan untuk Rumah sakit Alfatah.

Selama di depok Umar Patek  dan Dulmatin ditemani oleh Ramli. Umar Patek kepada Ramli sering menanyakan teman-teman eks STAIN Ambon yang rata-rata punya pengalaman berangkat ke Filipina. Untuk menjawab permasalahan, Sonata berusaha mempertemukan Maulana alias Lukman sebagai eks STAIN. Pertemuan akhirnya baru terlaksana setelah Umar Patek tinggal seminggu di Depok. Umar patek meminta Maulana mau berangkat ke Filipina. Namun karena belum pernah ke sana, Maulana keberatan. Selanjutnya umar patek berangkat ke Lampung.

Pulang dari Lampung Umar Patek dan Ramli bertemu Arnold alias Arham menginap di Kos. Arnold selama tiga hari.  Diskusi membahas keberangkatan Umar Patek dan Dulmatin beserta keluarga berangkat ke Filipina yang akan diatur oleh Arnold. Selanjutnya Dulmatin berangkat ke Poso beserta 5 ( lima ) anaknya dan tinggal di Kayamaya. Dari Kayamaya Poso selanjutnya Dulmatin berangkat ke Tawau.  Semantara Umar Patek tetap berada dikos kosan  Depok.  Umar Patek berangkat via Tarakan.  Biaya perjalanan  Umar patek dan Dulmatin tetap menggunakan uang sisa penjualan feroza milik ipar Dulmatin.

Dalam persidangan dijelaskan oleh Sonata bahwa untuk menopang kehidupannya Sonata menjual buku agama, sandal dan sepatu di pasar Kramat Jati. Keberangkatan Umar Patek dan Dulmatin didapat dari uang mereka sendiri dan uang kiriman dari Saleh Syek Muhamad, tokoh senior Al Qaedah. Kiriman pertama  sebesar  50 juta rupiah, kedua sebesar 60 jt rupiah,  dan ketiga  pada tahun 2004 menerima 100.000 real. Semua dana dikirim ke Filipina.

Sonata menukarkan uang tersebut ke VIP Money Changer, Menteng yang dipecah menjadi 3 masing- masing 20.000 real  lalu ditukar dengan dolar Amerika. Sebagian diserahkan kepada Faiz untuk dibawa ke Filipina dan sebagian diaerahkan Ramli untuk membeli tiket keberangkatan . Sisanya diserahkan kembali pada Sonata.

Sonata sendiri mengehtahui bahwa Ramli saat itu telah berhasil membuat rangkaian timer bom saat berada di rumah koskosan Depok.  Saat ini Sonata Masih di dalam penjara. Namun idiologinya masih begitu kuat melekat pada keluarganya. Beberapa waktu yang lalu istrinya dideportasi karena ingin berhijrah ke Suriah. Apakah negara boleh dikalahkan? Jawabnya; kita tidak boleh berhenti. Pendekatan keras harus lebih keras. Pendekatan lembut harus kian lembut. Semua harus dikerjakan secara simultan.  Kita tidak boleh merasa lelah melawan teroris.

Yakinlah negara tidak akan kalah. Semoga berhasil