KH’ As’ad Said Ali : Terorisme bukan Gerakan Agama, tapi Gerakan Politik berlabel Agama

Jakarta – Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (Waka BIN), KH. As’ad Said Ali mengatakan bahwa, permasalahan radikalisme dan terorisme sejatinya bukan bersumbu pada kepentingan agama. Melainkan masalah politik yang dibungkus dengan label agama.

Hal tersebut dikatakan KH. As’ad Said Ali saat menjadi narasumber pada acara Halal Bihalal dan Seminar Nasional Online yang mengambil tema “Sinergitas dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 dan Kewaspadaan terhadap Ideologi Ektremisme dan Intoleransi”.

Seminar online yang diadakan oleh Mahasiswa Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (MATAN) dengan bekerjasama dengan Badan  Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini digelar pada, Sabtu (13/6/2020).

“Terorisme itu adalah gerakan politik. Bukan gerakan agama. Jadi terorisme itu adalah gerakan politik yang diberi label agama. Sehingga yang terjadi adalah politisasi agama. Jadi harus diwaspadai,” ujar KH. As’ad Said Ali dalam paparannya yang mengambil tema Mewaspadai Bibit Ektrimisme di Indonesia.

.

Lebih lanjut mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) periode 2010-2015 ini menjelaskan, permasalahan radikalisme dan terorisme ini sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

“Pada saat itu terjadi pemberontakan terhadap kepemimpinan Ali sehingga muncul kelompok Khawarij. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh Abdurahman bin Muljam ( khawarij ) karena persoalan politik. Karena menganggap Sayidina Ali itu menyimpang dari ajaran Islam,” ujarnya

.

Dan kini, lanjut As’ad, juga muncul sekelompok orang yang radikal mengatasnamakan agama untuk membentuk sebuah negara. Sekelompok orang itu menafsirkan secara sempit apa yang disebut syariat Islam. Padahal, kata As’ad, Nabi Muhammad tidak pernah membatasi pembentukan sebuah negara.

Dikatakan Kiai As’ad, terorisme dan radikalisme merupakan dua realitas yang berbeda. Terorisme meliputi paham dan aksi teror pengikutnya sangat terbatas. Sedangkan radikalisme adalah sikap yang muncul dari dinamika politik yang berlangsung baik ditingkat global maupun nasional.

Menurutnya, ada beberapa gerakan terorisme internasional. Yang pertama aksi teroris yang dilakukan oleh Al Qaeda mereka yang terlibat adalah; “Jamaah Islamiyah” (Jl), ex DI/NII. Kedua adalah aksi teror ISIS, (Islamic State of Iraq and Suriah) pada mulanya dilakukan oleh Jamaah Tauhid Wal Jihat (JWT) dengan tujuan pertama mengusir Amerika dari Iraq.

“Kalau di selama ini di Indonexia ISIS ini melalui kelompok Jamaah Anshor Daulah (JAD) dibawah kepemimpinan Aman Abdurahman. Dan , JAD ini telah memproklalirkan Khilafah Islamiyah. Kalau Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso itu juga sama, afiliasinya ISIS juga, cuma istilah namanya saja yang beda,”

Kiai As’ad Said Ali mengatakan bahwa Al Qaeda dan ISIS ini mempunyai misi dan tujuan yang sama untuk  menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin dengan ideologi jihad. “ISIS dan Al Qaeda berbeda dalam nama dan gaya tetapi bersatu dalam misi dan tujuannya,” katanya

Perekrutannya menurutnya menggunakan metode sistematis, yang pertama; yaitu dengan melakukan indoktrinasi ideologi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang kedua, melakukan pendekatan organisasi. Dan yang ketiga, melalui ekploitasi kerawanan masyarakat.

Metode rekrutmen melalui media sosial juga menjadi sarana ISIS dan Al Qaeda yang cukup efektif, dengan memanfaatkan kondisi pskologis generasi muda di tengah-tengah semangat persaingan individu yang kuat. ”Ideologi menjadi faktor utama yang mendorong aksi Al Qaeda maupun ISIS. Sementara faktor ekonomi tidak begitu dominan mempengaruhi orang untuk bergabung,” tuturnya.

Sedangkan radikalisasi masyarakat tidak terlepas dari dinamika politik nasional dan pengaruh negatif situasi global terkait dengan globalisasi politik, keamanan, sosial, dan ekonomi serta peranan media sosial. “Ketimpangan ekonomi yang tajam akibat terjadinya globalisasi serta arus informasi global menjadi penting yang mempengaruhi radikalisme,” katanya.

Lebih lanjut Kiai As’ad Said Ali menjelaskan ada juga proses gerakan radikalisme yang sedang berlangsung gerakan Khilafah global. Bahkan di Indonesia sendiri ada organiasi  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mencita citakan Khilafah Islamiyah.

“Bedanya HTI ini berjuang melalui politik sedangkan Anshar Ad Daulah atau ISIS ini melalui revolusi atau teror. Jamaah Islamiah mendukung Al !Qaeda meskipun tidak memproklamirkan khilafah , tetapi melakukan aksi teror secara global,” katanya.

Hizbut Tahrir sendiri menurut Kiai As’ad bersifat global dan berpusat di Inggris dan palestina. Dan HTI sendiri  adalah salah satu cabangnya di Indonesia. Oleh karena itu cara penanganannya juga berbeda dan sampai saat ini belum tuntas padahal bergerak terus secara terselubung.

“HTI ini ini termasuk ekstrimisme non teroris. Sempalan HTI  yang bergerak terorisme adalah Al Muhajirun. HTI ini berusaha mendirikan Khilafah sehingga bertabrakan dengan NKRI yang berdasarkan Pancasila.Oleh karena itu, pemerintah di tahun 2017 mengeluarkan Perppu yang akhirnya menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan untuk membubarkan HTI tersebut,” katanya.

KH As’ad Said Ali menyampaikan, bahwa parameter dasar sebagai alat ukur, apakah suatu gerakan ideologi itu digolongkan radikal atau tidak adalah ideologi Pancasila. Terorisme jelas bertentangan dengan Pancasila, demikian pula HTI karena cita-cita dan tujuan politik dari gerakan ideologinya bertentangan dengan Dasar Negara.

“Kita juga mesti berhati-hati dalam melakukan klasifikasi itu agar tidak gegabah melakukan labeling. Kita harus bisa membedakan konsep negara Islam dengan konsep Kebangsaan Islam, kata lain dari Nasionalis Religius sebagai tujuan dan cita-cita gerakan-gerakan ideologi itu. Jika tidak, kita akan terjerumus dalam kebijakan yang salah, dan hal itu dapat menimbulkan akibat-akibat politik yang tidak baik,” ujanrya.

Oleh karena itu menurut Kiai As’ad adanya kegiatan seminar ini adalah upaya bagi MATAN dan NU pada umumnya untuk bersama-sama membantu pemerintan dalam hal ini BNPT untuk bersama-sama menghadapi  kelompok-kelompok tersebut “Matan diajak begini ini maksudnya sebagai teman dari pemerintah atau BNPT dalam menghadapi itu secara berasam-sama,” ujarnya.

Namun demikian dirinya mengingatkan bahwa dalam menghadapi kelompok tersebut tentunya anggota MATAN juga harus tahu dan mengerti teori propaganda, tahu juga dalil-dalil dalam menghadapinya dan tahun perkembangan situasi

“Tahu dalil belum tentu bisa. Dalil itu bukan dalil Al Sunnah semata, tetapi harus tahu dulu dalil yang digunakan  kelompok mereka. Kalau kita hanya tahu dalil yang ecek-ecek ya tidak bisa. Selain itu juga mehami benar istilah istilah yang mereka gunakan,” katanya

Oleh karena itu para anggota MATAN harus dapat membentengi dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya dari pengaruh kelompok-kelompok tersebut.  Karena menruutnya anggota MATAN ini diibaratkan sebagai vaksin dari kelompok tersebut.

 “Anda semua ini hati dan otaknya itu sudah ada virus anti mereka. Jadi Antum itu vaksin dari virus coronanya mereka. Mereka (kelompok radikal) itu adalah Coronanya, sementara anda (MATAN) ini vaksinnya yang tidak mungkin terpengaruh,” katanya

Dan dalam menghadapi kelompok tersebut Kiai A’ad juga berpesan agar tidak dilakukan sendiri. ”Dalam menghadapi mereka tentu jangan sendirinya. Harus membentuk tim untuk bekerjasama, teamwork,” katanay mengakhiri.

Selain KH As’ad Said Ali, acara dialog yang diikutii lebih dari 100 anggota MATAN dari berbagai wilayah di Indonesia ini juga menghadirkan narasumber lain yakni Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ir. Hamli , ME, Ketua Pengurus Wilayah MATAN DKI Jakarta  Dr. KH. Ali M. Abdillah, MA, Sektretis Satgas Covid-19 Majelis Ulama Indonesia/MUI, KH. Cholil Nafis, Ph.D dan mantan Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdatur Ulama/ISNU Dr. KH. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum.