Kelompok Teror Tidak “Mengenal” Pandemi Corona

Jakarta -Di tengah pandemi Corona atau Covid-19, kelompok-kelompok aksi teror terus berupaya merekrut anggota baru mereka melalui dunia maya di mana anak muda lebih rentan terhasut. Masyarakat perlu peka untuk mengamati lingkungan sekitarnya.

Selama periode Januari hingga Juni 2020, ada 84 tersangka terkait dengan jaringan terror yang aksinya berhasil digagalkan aparat penegak hukum. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melaporkan data ini dalam rapat dengan Komisi III DPR, Selasa (23/06). Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar tegaskan pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum yang ada untuk menanggulangi isu-isu terorisme di Indonesia.

Analis intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta menilai pengawasan dan penyelidikan 84 tersangka tersebut tak lepas dari kebijkaan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, yang memberikan kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan pencegahan.

“Penangkapan 84 orang ini karena memang menjalankan perintah UU Nomor 5 Tahun 2018 dengan baik,” ujar Stanislaus dikutip dari laman DW Indonesia, Rabu (24/06) sore.

Ia menjelaskan bahwa kelompok radikal terorisme yang ada di Indonesia didominasi oleh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS. Stanislaus mengatakan pasca ISIS kalah dan kehilangan wilayahnya di Suriah pada awal tahun lalu, membuat simpatisan yang ada di Indonesia mulai menggencarkan serangan di dalam negeri.

Stanislaus menambahkan nantinya aksi-aksi serangan akan dilakukan melaui sel-sel keluarga dan lone wolf -aksi terorisme yang dilakukan secara mandiri- karena dianggap sulit untuk dideteksi.

“Alasannya karena memang sel keluarga ini tidak mudah terdeteksi. Mereka hanya berkomunikasi di internal keluarga, itu tidak dicurigai apalagi lone wolf,” ungkap Stanislaus.

Senada dengan Boy, Stanilaus menjelaskan bahwa metode perekrutan anggota jaringan teror telah berubah seiring perkembangan zaman dan teknologi.

“Mereka menyebar konten-konten di dunia maya dan mereka melihat siapa yang menangkap konten itu. Kemudian mereka akan kontak orang itu. Mereka punya website, bisa melihat orang yang tertarik, mengklik berapa kali, mereka akan merespon,” papar Stanislaus.

Ia pun memperingatkan agar masyarakat tidak mudah tertipu dengan gerakan propaganda kelompok-kelompok jaringan teror, salah satunya medium majalah online Dabiq yang digunakan ISIS untuk merekrut anggota-anggotanya. Anak muda, menurut Stanislaus, lebih mudah untuk terpapar paham radikal terorisme.

“Saya mewawancarai beberapa remaja yang terlibat kasus terorisme. Mereka ngomong membaca (majalah) ini…Sebenarnya mereka menebar konten itu secara acak, banyak sekali. Tapi usia yang terkait hal-hal seperti itu yang mungkin butuh eksistensi, heroisme, itu kan usia muda, orang yang mencari jati diri,” tuturnya.