Mayjen TNI Hendri P. Lubis saat memberikan materi.

ASN Harus Jadi Agen Pemerintah Dalam Perangi Radikalisme dan Terorisme

Jakarta – Aparat Sipil Negara (ASN) atau Pegawan Negeri Sipil (PNS) harus terus memperkuat rasa nasionalisme dan pengamalan Pancasila dalam melawan penyebaran radikalisme dan terorisme. Ini sangat penting karena faktanya masih ada ASN, bahkan anggota TNI dan Polri yang terpapar paham-paham yang ingin mengganti ideologi bangsa dan merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Tanamkan rasa nasionalisme dan pengamalan Pancasila serta kecintaan terhadap NKRI, sebagai jangkar keyakinan berbangsa dan bernegara. Selain itu, sebagai agen pemerintah, ASN juga harus bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat dan lingkungan sekitar tentang ancaman radikalisme dan terorisme ini,” kata Deputi 1 Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis saat memberikan materi berjudul ‘Mewaspadai Bahaya Terorisme dan Upaya Pencegahaannya’ pada seminar edukasi terhadap anggota Korpri Unit TNI AD di Aula Maditbekangad Jakarta, Rabu (13/11/2019).

ASN, lanjut Hendri,  juga harus memperkaya wawasan keagamaan dan mendalaminya melalui sumber atau tokoh terpercaya  yang populer serta berpandangan moderat serta damai. Dengan demikian, para ASN bisa membentengi diri dan selalu waspada terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris, baik di lingkungan masyarakat maupun dunia maya. Apalagi, kelompok kekerasan itu selalu menjadikan agama sebagai ‘tunggangan’ untuk membenarkan pahamnya.

Selain itu, kewaspadaan dan deteksi dini di lingkungan sekitar juga penting. Faktanya, para pelaku teror sering berpindah-pindah tempat dan biasanya mereka agak tertutup dengan lingkungan sekitar.  ASN harus membangun jejaring dengan komunitas damai baik offline maupun online untuk menambah wawasan dan pengetahuan, terutama dalam menyikapi kemajuan teknologi informasi dengan keberadaan informasi di media sosial (medsos).

Menurut Hendri, ada empat langkah yang perlu dilakukan ketika menerima informasi. Pertama kritis dan skeptis terhadap informasi yang diterima. Kedua periksa validitas dan kredibilitas sumber berita, ketiga periksa kontennya dan bandingkan dengan sumber lain. Keempat diskusikan konten tersebut dengan orang terdekat, komunitas, dan para ahli jika memungkinkan.

“Selain memahami terorisme sebagai ancaman nyata, ASN juga perlu mengetahui bagaimana strategi pencegahan terorisme tersebut untuk kemudian menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh kepada masyarakat, baik di lingkungannya sendiri, maupun di seluruh masyarakat luas,” imbuh mantan Danrem 173/Praja Vira Braja ini.

Saat ini, lanjut Deputi 1, kelompok radikal terorisme memanfaatkan dunia maya untuk melakukan pelbagai aktivitas seperti pemberian informasi tentang kegiatan merek; kemudian untuk perekrutan secara langsung dan tidak langsung melalui website dan media sosial; pembentukan opini dengan memanfaatkan media sosial internet, melalui tulisan, gambar (meme) dan video; melakukan aksi teror dan ancaman-ancaman melalui internet; dan perusakan (hacking) kepada situs-situs internet (website) milik negara/lembaga pemerintah.

“Mengapa teroris menggunakan dunia maya? Karena dunia maya mudah diakses, sulit dikontrol, dan audiensnya luas. Juga bisa anonim, informasinya cepat, murah, bersifat multimedia, dan lain-lain,” tutur Hendri.

Karena itu, edukasi-edukasi seperti yang digelar oleh Dewan Pengurus Korpri Unit TNI AD sangat penting. Pasalnya, penanganan radikalisme dan terorisme tidak bisa dilakukan sendiri oleh BNPT dan Polri, tetapi peran serta masyarakat sangat vital. Dengan adanya peran serta masyarakat, maka akan terjadi sinergi yang bisa saling mendukung, saling memberi, dan semangat kebersamaan.

Hendri menambahkan, BNPT sebagai lembaga negara yang berwenang mengkoordinasikan penanggulangan terorisme di Indonesia terus melakukan berbagai inovasi dalam program pencegahan terorisme. Salah satu melalui Subdit Pemberdayaan Masyarakat Direktorat Pencegahan bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 Provinsi seluruh Indonesia.

Ia menjelaskan,  setiap minggu lima kegiatan penguatan dan pelibatan masyarakat dilakukan di lima provinsi. Pertama bidang sosial budaya, bidang pemuda dan pendidikan, perempuan dan anak, bidang media, hukum, dan humas, dan terakhir pengkajian dan penelitian. Kegiatan Ini nonstop dilaksanakan BNPT dan FKPT dari Februari sampai November dan bulan Desember dilakukan Rakornas untuk menyusun program tahun berikutnya. Tujuannya semua untuk mencegah radikalisme dan terorisme.

Upaya ini, lanjut Hendri, adalah perwujudkan kehadiran negara di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, FKPT sebagai kepanjangan tangan BNPT merupakan wujud pelibatan masyarakat secara langsung di daerah.

“Bahaya terorisme menyasar tanpa memandang pangkat, jabatan, dan status sosial. Dalam konteks inilah pelibatan aparatur negara dan masyarakat menjadi sangat penting. Apalagi masyarakat Indonesia masih sangat kental dengan kearifan lokal yang ada,” jelas mantan Dansat Intel BAIS TNI ini.

Ia juga  mengajak semua pihak agar senantiasa meningkatkan ketahanan diri dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Juga bisa membangun deteksi dini melalui kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

“Terorisme bisa terjadi di manapun dan kapanpun secara tidak terduga. Jangan lengah karena para pelaku merupakan bagian dari masyarakat yang setiap saat ada dan mendiami lingkungan sekitar kita,” tegasnya.